Rabu, 09 Januari 2013

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-(bagian pertama)



   Sejarah pajak bumi di Indonesia sudah dimulai sejak masa prasejarah  dengan penguasa atau sesepuh (primus inter pares) mulai membebani rakyat dengan persembahan upeti dan iuran wajib (pajak) atas tanah sawah sebagai tanda pengakuan atas kepemimpinan dan bukti syukur atas pengayoman penguasa (R. Sa’ban : 1987).

   Berdasarkan prasasti-prasasti pada masa kerajaan Mataram Hindu telah menyebutkan tentang pungutan atas tanah yang teratur pelaksanaannya, dimana peraturan perpajakan telah berlaku umum dan diketahui secara luas. Obyek pengenaan pajak tanah meliputi tanah sawah dan darat. Ketentuan besarnya tarif  sudah ada walaupun tidak dalam persentase (%). 

   Pada masa kerajaan Mataram Islam obyek pajak berupa tanah pertanian (sawah dan tegalan), kecuali tanah jabatan (bengkok). Besarnya tarip pajak didasarkan ketentuan bagi hasil (maro, mertelu dsb) setelah dipotong bawon. Ketetapan pajak berlaku sekali untuk seterusnya sampai ada penetapan kembali bila dianggap perlu (tidak berkala). Pada masa ini telah dikenal cara pemungutan pajak berdasarkan statusatau peruntukan tanahnya. Uang pajak tida ada yang dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk apapun untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat. 

   Saat kompeni/VOC berkuasa di Indonesia dikenal istilah Verplichte Leverantien yaitu penyerahan dari seluruh panen dari suatu hasil bumi tertentu oleh rakyat dengan harga rendah. Selain itu VOC sebagai penguasa politik yang membawahi daerah–daerah takluk merasa berhak memungut sebagian hasil bumi dan tenaga kerja dari rakyat jajahannya sebagai jatah persembahan berkala (tahunan) yang disebut Contingenten. Persembahan wajib tahunan ini lazimnya berupa padi dan hasil pertanian lainnya ada juga hasil hutan dan lain-lain yang pada dasarnya tanpa suatu pembayaran harga. Keadaan ini berlanjut sampai masa awal berkuasanya Hindia Belanda.
    Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels Verplichte Leverantien maupun Contingenten tetap dipertahankan sebagai sumber penerimaan Pemerintah, dan di beberapa daerah tertentu diterapkan sistem pajak sebesar 1/5 bagian hasil panen.
    Sejak tanggal 18 September 1811 dimulailah pendudukan Inggris di Indonesia dibawah pimpinan Raffles. Pada masa pemerintahan Raffles, telah dilakukan pembaharuan sistem pungutan dari sistem contingent ke sistem landrente. Sistem ini diberlakukan di seluruh Jawa dengan cara pengenaan umumnya per desa (Village Settlement), akan tetapi ada pula dengan sistem tuan tanah (Zamindari Settlement) atau sistem perorangan (Detailed Settlement). Cara pengenaan, jangka waktu lamanya sewa tanah, tarip sewa dan harga padi yang diterapkan disesuaikan situasi dan kondisi dan kebijakan Residen yang bersangkutan. Terhadap tanah pekarangan bagi penduduk non petani dikenakan Tanement Tax
    Setelah berakhirnya perang Eropa, Belanda kembali menguasai pulau Jawa dan daerah jajahan lainnya. Untuk mengisi kas kerajaan Belanda yang kosong dilakukan usaha pengenaan pajak tanah dengan peraturan-peraturan yang sebenarnya hanya mengadopsi sistem Landrente. Pengenaan pajak dikembalikan per desa, karena dianggap data, sarana dan personalia belum tersedia. Dasar penetapan landrente tidak ada ketentuannya, sehingga dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan kesepakatan antara pejabat dengan pamong desa.
    Cara penetapan pajak ini sangat rawan penyimpangan, karena dilakukan secara tawar menawar tanpa melihat keadaan sebenarnya dilapangan. Pelaksanaannya memberatkan rakyat wajib-bayar, karena jumlahnya yang tidak pasti, ditambah lagi aturan yang selalu berubah dan tidak mantap. Oleh karena itu landrente tidak berkembang secepat yang diharapkan oleh pemerintah.(bersambung ....).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar