Rabu, 09 Januari 2013

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-(bagian Kedua)

Padjak Tanah dan Roemah 1927

    Pada kurun masa 1830 - 1870 muncul gagasan dari Johannes van den Bosch berupa suatu sistem tanam yang akan menghasilkan jumlah penerimaan keuangan yang cepat dan melimpah, sistem ini kemudian dikenal sebagai sistem tanam paksa (kultuurstelsel). Pada masa ini petani hanya diwajibkan menyerahkan 1/5 bagian dari tanah dan tenaga kerja (jauh lebih kecil daripada tarip landrente sebesar 1/2 bagian). Petani yang sudah memberikan 1/5 bagian dibebaskan dari pengenaan landrente, bahkan apabila terjadi kelebihan akan dikembalikan selisihnya. 
  Selama masa kultuurstelsel pengembangan sistem landrente diabaikan oleh pemerintah, bahkan tahun 1827 – 1863 pengukuran dan pemetaan tanah dihentikan sama sekali. Pada tahun 1872 muncul peraturan baru tentang Landrente Stbl 1872 No. 66, No. 219.a dan  No. 241 yang mulai mengenalkan adanya pembebasan dan pengurangan pajak dan menegaskan bahwa sifat landrente adalah pajak bukan sewa tanah. Besarnya pajak tanah sawah per tahun dirumuskan sebagai berikut: 

Landrente =  % x hasil bersih x harga dasar padi

    Prosentase berkisar antara 8 – 20% sesuai tingkat kemakmuran masing-masing desa, harga dasar padi adalah harga padi kering termurah selama 10 tahun terakhir.
   Peraturan landrente disempurnakan pada tahun 1907 dimana cara pengenaan per desa diganti dengan per persil landrente dan dikenakan atas hasil dengan mempertimbangkan biaya produksi. Biaya produksi diperoleh dari panen sawah percobaan yang khusus diselenggarakan untuk itu. 
   Pada tahun 1925 pengelolaan landrente dialihkan dari Departemen Dalam Negeri ke Departemen Keuangan. “Dinas Landrente” juga dialihkan ke Departemen Kehakiman. Meskipun telah terjadi pengalihan pengelolaan, tetapi tidak semua wewenang dan tanggung jawab beralih ke pejabat Departemen Keuangan, sehingga pejabat “Dinas Landrente” lebih dianggap sebagai pelaksana teknis, sedangkan wewenang politis operasional tetapi dipegang oleh Departemen Dalam Negeri. Keadaan ini berlangsung sampai dengan akhir zaman penjajahan Belanda tahun 1942, berlanjut di zaman pendudukan militer Jepang dan sampai awal zaman kemerdekaan. 
    Tahun 1927 diundangkan kembali Peraturan landrente  baru dengan Stbl. 1927/163 yang berlaku untuk seluruh Jawa/Madura (kecuali Surakarta dan Yogyakarta) serta meliputi semua jenis tanah pemajakan, termasuk empang (tambak) air laut dengan maksud meringankan beban pajak petani. Dan untuk daerah Gubernemen di luar Jawa/Madura diundangkan peraturan landrente baru dengan mengikuti ketentuan-ketentuan pengenaan landrente di Jawa/Madura, akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi spesifik daerah masing-masing. 
    Peraturan landrente berubah lagi pada tahun 1939 menjadi “Landrente Verordering 1939” yang berlaku untuk semua daerah gubernemen sebagai akibat diterapkannya sistim metrik di Hindia Belanda serta dalam rangka penyempurnaan dan penyeragaman peraturan. 

    Presiden Republik Indonesia dalam bulan September 1959 dalam rangka usaha peningkatan penerimaan Negara menebitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  (Perpu) No.11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (LN. No.104/1959) untuk mengadakan pemungutan sekedarnya dalam sektor agraris menurut suatu sistem sederhana yang mudah dimengerti oleh rakyat yaitu suatu pajak atas tanah yang dikuasai dengan hak kebendaan dan yang tidak dikenakan pajak Verponding atau Verponding Indonesia. Selain itu diterbitkan pula Perpu No. 16 dan No.24 tahun 1959, yang merubah Pasal 7 ayat 2a Ordonansi Pajak Pendapatan 1944  sehingga adanya pajak ganda atas hasil dari tanah telah dihindarkan.

    Dengan terbitnya Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang disamping mencabut “Agrarische Wet” dan “Domeinverklaring” (Agrarisch Besluit 1870) dan lain-lain, juga menghapus Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan yang dikandungnya, kecuali ketentuan-ketentuan tentang hipotik yang masih berlaku), menggoyahkan dasar-dasar pengenaan pajak-pajak Verponding dan Verponding Indonesia, yang karenanya menjadi kehilangan obyek pengenaan pajaknya. Juga pungutan Bea Balik Nama atas Harta Tetap (tanah dan bangunan) tidak dapat dipungut lagi setelah diundangkannya UUPA 1960.

    Keputusan Presidium Kabinet RI tanggal 10-4-1967 No.87/U/KEP/4/1967 menetapkan pembekukan pelaksanaan Verponding dan Verponding Indonesia seperti yang masing-masing diatur dalam Ordonansi Verponding tahun 1928 dengan tujuan menjadikan Ipeda (dalam  keputusan ini dan seterusnya Pemerintah tidak lagi menyebut nama pungutan sebagai Pajak Hasil Bumi) menjadi satu-satunya pajak atas tanah yang hak-haknya diatur dalam UUPA 1960. (Bersambung ....)

2 komentar:

  1. Min mau tanya persentase pengenaan pajak tanah persawah yg 8-20% itu kata mimin berdasarkan tingkat kemakmuran daerahnya, apakah jika semakin makmur maka persentasinya akan naik atau malah akan turun?


    Dan berapa harga padi terendah pada masa 10 tahun terakhir yg mimin maksud ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atas persinggahannya mas Willyandi Santoso ....
      Yang dikupas diatas adalah sejarah PBB mas ... 8 - 20 % adalah ketika jaman Landrente ... semakin makmur semakin mahal atau besar persentasenya ....
      Harga padi terendah pada 10 tahun terakhir dimaksud adalah pada masa akan menetapkan pajak landrente tadi ... kalo sekarang ... hal ini sudah tidak dipake lagi ...
      Jadi nggak ada yg surve harga padi utk penilaian tanah sekarang ....

      Hapus