Pemetaan dalam
rangka pengenaan pajak bumi di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak zaman
pemerintahan Raffles (1811-1816) yang ditandai dengan dibentuknya Officers of Survey sebagai pegawai
teknis pengukuran/pemetaan yang bertugas menyusun data luas tanah pemajakan. Di
zaman Komisaris Jenderal (1816-1830) pengukuran tanah diperintahkan dalam
Stbl.1818 No.14 yang dilaksanakan oleh Statieke
Opneming sampai tahun 1827. Pada masa jayanya kultuurstelsel, pekerjaan ini dihentikan sampai dengan tahun 1863.
Perkembangan pengukuran/pemetaan
terjadi kembali setelah mundurnya sistim tanam paksa, yakni dengan
dikeluarkannya Stbl.1864 No.166 yang menetapkan dibentuknya Biro Statistik
Kadaster yang memberikan tugas kepada Kantor Kadaster untuk melaksanakan
pengukuran untuk kepentingan landrente.
Suatu perkembangan
penting dalam rangka usahan pengumpulan data luas tanah yang dapat dipercaya
terjadi dengan dikeluarkannya Stbl.1879 No.164 tentang tugas Kadaster untuk
kepentingan landrente. Dengan
keluarnya peraturan ini sekaligus manghapus Biro Statistik Kadaster yang ada.
Pada masa
pendudukan militer Jepang, setiap rencana pembaharuan pajak diawali jauh
sebelumnya dengan rapat Pangrehpraja dengan dinas-dinas yang terkait dengan
pajak tanah, seperti Dinas Pertanian, Kehutanan, Pengairan dan Topografi
Militer. Dalam rangka pembaharuan pajak, faktor-faktor kondisi arsip dan
peta-peta desa landrente serta perubahan di bidang administratif, masalah
topografi dan perkembangan potensi fiskal yang terjadi selama 10 tahun terakhir
sangat menentukan. Klasifikasi pembaharuan peta desa pada masa ini dilaksanakan
oleh Brigade Landrente dari Dinas Topografi Militer Angkatan Darat, berdasarkan
Aturan untuk Ukuran Pajak Tanah (Voorschriften Landrente metingen).
Rencana Klasiran
dipergunakan sebagai pedoman dan sarana pengendalian pelaksanaan klasifikasi
tanah (klasiran) di lapangan yang dikerjakan oleh mantri-mantri klasir bersama
pemilik tanah dan pamong desa dengan menggunakan peta desa sebagai dasar
pelaksanaanya. Pekerjaan klasiran di lapangan diikuti oleh pekerjaan rincikan
(repartisi) oleh para juru rincik yaitu pengukuran luas bidang tanah guna
menetapkan perincian besarnya bagian pajak masing-masingbidang tanah dlam suatu
persil atas nama pemiliknya.
Hasil ukuran
rincikan berupa data luas dan nama pemilik bersama tarif-tarif per hektar
merupakan dasar pembukuan pajak tanah untuk
pembuatan buku /daftar pengenaan pajak
tanah desa, yang meliputi:
1. Daftar Dasar (Legger) model huruf A : Luas
tanah dan Perhitungan Pajak per persil tanah sawah dan darat, sebagai pokok
ketetapan pajak masing-masing desa.
2. Buku Kohir, model huruf B, memuat perincian
luas tanah dan ketetapan pajak per bidang tanah, serta nomor dan nama wajib
pajak dari masing-masing persil. Kohir B disusun dari Buku Rincikan
hasil repartisi dan merupakan perincian dari A.
3. Buku Register model huruf C, dimana
tercatat data luas dan ketetapan pajak dari berbagai bidang tanah atas nama
masing-masing wajib pajak sedesa. Buku C disusun dari Buku Carakan (yang memuat
nomor urut dan nama wajib pajak, disusun menurut abjad) dan Buku B.
4. Petuk / Girik / Kekitir (model huruf) D,
sebagai pemberitahuan/ketetapan pajak atas nama masing-masing wajib pajak,
merupakan petikan dari Buku C.
5. Daftar pengumpul Pajak (model huruf) E,
berisi himpunan jumlah ketetapan pajak tanah sawah/darat per desa se Kawedanan.
Dihimpun dari daftar A dan dijadikan lampiran dari surat ketetapan pajak tanah.
6. Buku pemungutan pajak (model huruf) F,
memuat nama dan jumlah utang pajak masing-masing wajib pajak sedesa,
dipergunakan untuk mencatat pembayaran (angsuran) pajak.
Daftar A dan buku B
dipelihara tiap tahun sedangkan Buku C dan Petuk D disesuaikan terus menerus
dengan mutasi tanah yang terjadi berdasarkan daftar (wira-wiri) Rapot Minggon. Daftar
E dan Buku F dibuat untuk tiap tahun pajak.
Perkembangan
pelaksanaan pendaftaran tanah terjadi lagi dengan dibentuknya Jawatan
Pendaftaran dan Pajak Pewnghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) berdasarkan SK
Menteri Keuanagn RI tanggal 30 Desember 1950 No.287162/K. Jawatan P3TMI bertugas:
a. Melanjutkan dan menyempurnakan pendaftaran tanah
milik Indonesia;
b. Mengumpulkan bahan-bahan serta menyelenggarakan
pekerjaan persiapan guna penetapan Pajak Penghasilan.
Untuk mempertegas
status jawatan ini, maka dikeluarkanlah SK Menteri Keuangan RI tanggal 29 Maret
1956 No.52750/BSD yang merubah Jawatan P3TMI menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah
Milik (PTM) dengan tugas tunggal melaksanakan pendaftaran sementara tanah milik
adat bekas objek pengenaan Pajak Bumi. Pendaftaran ini bersifat sementara
karena pendaftaran tanah ini tidak/belum ada dasar undang-undangnya.
Sejak berubah
menjadi Jawatan PTM, segala perhatian dipusatkan pada penyelenggaraan
pendaftaran tanah milik, yang meliputi pekerjaan pengukuran, pemetaan (peta
desa), rincikan luas bidang tiap persil dan pencatatan data-data kepemilikan
tanah. Dalam pendaftaran tanah ini dikeluarkan Tanda Pendaftaran Sementara
(TPS) sebagai ganti petuk D untuk tiap bidang tanah disertai gambar bagan dari
bidang tersebut.