Kamis, 20 Desember 2012

Sejarah Klasiran (Pendaftaran Tanah) di Indonesia



Pemetaan dalam rangka pengenaan pajak bumi di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak zaman pemerintahan Raffles (1811-1816) yang ditandai dengan dibentuknya Officers of Survey sebagai pegawai teknis pengukuran/pemetaan yang bertugas menyusun data luas tanah pemajakan. Di zaman Komisaris Jenderal (1816-1830) pengukuran tanah diperintahkan dalam Stbl.1818 No.14 yang dilaksanakan oleh Statieke Opneming sampai tahun 1827. Pada masa jayanya kultuurstelsel, pekerjaan ini dihentikan sampai dengan tahun 1863.
Perkembangan pengukuran/pemetaan terjadi kembali setelah mundurnya sistim tanam paksa, yakni dengan dikeluarkannya Stbl.1864 No.166 yang menetapkan dibentuknya Biro Statistik Kadaster yang memberikan tugas kepada Kantor Kadaster untuk melaksanakan pengukuran untuk kepentingan landrente.
Suatu perkembangan penting dalam rangka usahan pengumpulan data luas tanah yang dapat dipercaya terjadi dengan dikeluarkannya Stbl.1879 No.164 tentang tugas Kadaster untuk kepentingan landrente. Dengan keluarnya peraturan ini sekaligus manghapus Biro Statistik Kadaster yang ada.
Pada masa pendudukan militer Jepang, setiap rencana pembaharuan pajak diawali jauh sebelumnya dengan rapat Pangrehpraja dengan dinas-dinas yang terkait dengan pajak tanah, seperti Dinas Pertanian, Kehutanan, Pengairan dan Topografi Militer. Dalam rangka pembaharuan pajak, faktor-faktor kondisi arsip dan peta-peta desa landrente serta perubahan di bidang administratif, masalah topografi dan perkembangan potensi fiskal yang terjadi selama 10 tahun terakhir sangat menentukan. Klasifikasi pembaharuan peta desa pada masa ini dilaksanakan oleh Brigade Landrente dari Dinas Topografi Militer Angkatan Darat, berdasarkan Aturan untuk Ukuran Pajak Tanah (Voorschriften Landrente metingen).
Rencana Klasiran dipergunakan sebagai pedoman dan sarana pengendalian pelaksanaan klasifikasi tanah (klasiran) di lapangan yang dikerjakan oleh mantri-mantri klasir bersama pemilik tanah dan pamong desa dengan menggunakan peta desa sebagai dasar pelaksanaanya. Pekerjaan klasiran di lapangan diikuti oleh pekerjaan rincikan (repartisi) oleh para juru rincik yaitu pengukuran luas bidang tanah guna menetapkan perincian besarnya bagian pajak masing-masingbidang tanah dlam suatu persil atas nama pemiliknya.
Hasil ukuran rincikan berupa data luas dan nama pemilik bersama tarif-tarif per hektar merupakan dasar pembukuan pajak tanah untuk  pembuatan buku /daftar pengenaan pajak  tanah desa, yang meliputi:
1. Daftar Dasar (Legger) model huruf A : Luas tanah dan Perhitungan Pajak per persil tanah sawah dan darat, sebagai pokok ketetapan pajak masing-masing desa.
2. Buku Kohir, model huruf B, memuat perincian luas tanah dan ketetapan pajak per bidang tanah, serta nomor dan nama wajib pajak dari masing-masing persil. Kohir B disusun dari Buku Rincikan hasil repartisi dan merupakan perincian dari A.
3. Buku Register model huruf C, dimana tercatat data luas dan ketetapan pajak dari berbagai bidang tanah atas nama masing-masing wajib pajak sedesa. Buku C disusun dari Buku Carakan (yang memuat nomor urut dan nama wajib pajak, disusun menurut abjad) dan Buku B.
4. Petuk / Girik / Kekitir (model huruf) D, sebagai pemberitahuan/ketetapan pajak atas nama masing-masing wajib pajak, merupakan petikan dari Buku C.
5. Daftar pengumpul Pajak (model huruf) E, berisi himpunan jumlah ketetapan pajak tanah sawah/darat per desa se Kawedanan. Dihimpun dari daftar A dan dijadikan lampiran dari surat ketetapan pajak tanah.
6. Buku pemungutan pajak (model huruf) F, memuat nama dan jumlah utang pajak masing-masing wajib pajak sedesa, dipergunakan untuk mencatat pembayaran (angsuran) pajak.
Daftar A dan buku B dipelihara tiap tahun sedangkan Buku C dan Petuk D disesuaikan terus menerus dengan mutasi tanah yang terjadi berdasarkan daftar (wira-wiri) Rapot Minggon. Daftar E dan Buku F dibuat untuk tiap tahun pajak.
Perkembangan pelaksanaan pendaftaran tanah terjadi lagi dengan dibentuknya Jawatan Pendaftaran dan Pajak Pewnghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) berdasarkan SK Menteri Keuanagn RI tanggal 30 Desember 1950 No.287162/K. Jawatan P3TMI bertugas:
a. Melanjutkan dan menyempurnakan pendaftaran tanah milik Indonesia;
b. Mengumpulkan bahan-bahan serta menyelenggarakan pekerjaan persiapan guna penetapan Pajak Penghasilan.
Untuk mempertegas status jawatan ini, maka dikeluarkanlah SK Menteri Keuangan RI tanggal 29 Maret 1956 No.52750/BSD yang merubah Jawatan P3TMI menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah Milik (PTM) dengan tugas tunggal melaksanakan pendaftaran sementara tanah milik adat bekas objek pengenaan Pajak Bumi. Pendaftaran ini bersifat sementara karena pendaftaran tanah ini tidak/belum ada dasar undang-undangnya.
Sejak berubah menjadi Jawatan PTM, segala perhatian dipusatkan pada penyelenggaraan pendaftaran tanah milik, yang meliputi pekerjaan pengukuran, pemetaan (peta desa), rincikan luas bidang tiap persil dan pencatatan data-data kepemilikan tanah. Dalam pendaftaran tanah ini dikeluarkan Tanda Pendaftaran Sementara (TPS) sebagai ganti petuk D untuk tiap bidang tanah disertai gambar bagan dari bidang tersebut.