Rabu, 16 Januari 2013

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-(bagian Ketiga)



    Undang-undang Pajak Hasil Bumi 1959 sebagai dasar pengenaan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) mempunyai berbagai kelemahan, sehingga sepanjang pelaksanaannya menghadapi hambatan baik teknis, politis maupun legal. UUPHB 1959 diundangkan sewaktu masih berkakunya “Agrarische Wet 1870” yang dualistis, yang menerapkan hukum Barat di samping hukum Adat dalam Undang–Undang Pertanahan. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sepenuhnya menganut hukum Adat, seraya mencabut Buku II KUH Perdata tentang harta (sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya), maka objek pengenaan PHB/Ipeda yaitu : ‘‘Semua tanah, atas mana berlaku hak kebendaan”, menjadi kabur pembatasannya, karena hukum Adat yang dianut UUPA tidak mengenal pembedaan antara hak kebendaan dan hak pribadi (perorangan).
    UUPHB 1959 yang disusun untuk dasar pengenaan tanah (sektor) pedesaan, secara formal  tidak mendukung pengenaan Ipeda yang objeknya meluas sehingga meliputi juga sektor-sektor perkotaan, perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
    Guna mengatasi kerawanan masalah dasar hukum tersebut di atas (dalam rangka pembaruan sistem perpajakan nasional seperti digariskan dalam GBHN 1983 dan yang telah diawali pelaksanaannya dengan ditetapkan 3 Undang-Undang perpajakan tahun 1983), maka Pemerintah menjelang tutup tahun 1985 menetapakan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UUPBB 1985), seraya mencabut 7 Undang-Undang perpajakan Pusat dan Daerah yang semuanya berobjekkan tanah/bangunan, yaitu Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Undang-Undang Pajak Daerah 1957 (pasal 14 huruf j, k, dan l) dan Undang-Undang Pajak Hasil Bumi 1959.
    Tujuan pengundangan  UU PBB 1985 yaitu :
1. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana pembangunan.
2. Penyederhanaan dan meniadakan beban pajak ganda. 
3. Memberi kepastian hukum.
    UPBB 1985 mengambil pengertian tanah dan bumi dari UUPA, dua istilah yang sebelum berlakunya UUPA tidak dibedakan secara tegas artinya. UUPBB dan UUPA sama-sama berobjekkan bumi/tanah sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Oleh karena itu, koordinasi dalam pelaksanaan tugas dan pemanfaatan data pertanahan dari instansi yang kompeten (Agraria/Pendaftaran Tanah) dalam pengenaan PBB, berarti penghematan dalam pelaksanaan tugas Negara (bidang pengukuran/pemetaan), yang sekaligus dapat menghindarkan timbulnya keresahan di kalangan masyarakat wajib pajak.
Pemberlakuan UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB didasari pemikiran antara lain bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai hak atau memperoleh manfaat darinya. Kesederhaanaan pengenaan PBB antara lain tercermin dari pemberlakuan tarif tunggal 0,5% dan dasar pengenaan pajak yang hanya satu jenis, yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Menyadari pentingnya penerimaan penerimaan PBB bagi pembiayaan pembangunan daerah, maka pada tahun 1989 dilakukan pembaharuan sistim administrasi  penerimaan PBB melalui Sistim Tempat Pembayaran (SISTEP). Sistim ini lebih menekankan pada masalah pembayaran dan pemungutan PBB. 
Pembaharuan dalam kaitannya dengan penetapan dan pelayanan PBB, maka pada tahun 1991 dikembangkan Sistim Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) dan dilanjutkan pada tahun 1999 dengan Sistim Informasi Geografis (SIG).SISMIOP yang merupakan sistim yang terintegrasi berbagai kegiatan PBB mulai dari kegiatan pengukuran, perekaman data, penerbitan data keluaran sampai kepada pelayanan kepada Wajib Pajak.
    Dalam PBB dikenal asas self assesment  yaitu  memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk mendaftarkan dan melaporkan sendiri objek pajakanya. Namun mengingat besarnya jumlah objek pajak dan beragamnya tingkat pendidikan maka belum seluruh wajib pajak dapat mendaftarkan dan melaporkan objek pajaknya dengan baik, sehingga untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, dilakukan pendataan terhadap objek dan subjek PBB.  
   Pendataan adalah kegiatan untuk memperoleh, mengumpulkan, melengkapi dan manatausahakan data objek dan subjek pajak sebagai salah satu bahan untuk menetapkan besarnya PBB terutang. Kegiatan pendataan dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB (KP PBB) atau pihak lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) yang dilaksanakan dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk sekurang-kurangnya satu wilayah administratif desa atau kelurahan.  
    Kegiatan pendataan dapat dibedakan dalam dua sub kegiatan yaitu : Pembentukan Basis Data  dan Pemeliharaan Basis Data. Pembentukan basis data dilakukan untuk daerah yang belum terdata dengan pola Sismiop yang dimaksudkan untuk menciptakan basis data yang akurat dan  up to date, sedangkan pemeliharaan basis data dilakukan untuk memelihara basis data yang telah ada sehingga tetap akurat dan up to date yang dapat dilakukan dengan cara aktif atau pasif. Aktif adalah kegiatan pemeliharaan basis data yang dilakukan oleh petugas KP. PBB dengan cara mencocokkan dan menyesuaikan data objek dan subjek PBB dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Pasif adalah kegiatan pemeliharaan basis data yang dilakukan petugas KP. PBB berdasarkan laporan dari wajib pajak atau instansi yang terkait sesuai prosedur dalam Pelayanan Satu Tempat (PST). 
    PBB merupakan pungutan pajak  yang bersifat objektif dan bersifat kebendaan karena besarnya PBB yang harus dibayar berdasarkan oleh unsur ukuran, letak dan kualitas objek pajak. Unsur-unsur tersebut direpresentasikan dalam suatu peta  sebagai suatu data pendukung. Eksitensi peta dapat disarikan dari unsur-unsur Sismiop yaitu :
1. Nomor Objek Pajak (NOP) yaitu sistem penomoran untuk memberikan identitas yang unik, tetap dan standar bagi seluruh objek pajak. Dengan NOP  akan mempermudah pencarian lokasi/letak  objek pajak dengan berpedoman pada peta blok.
2. Blok, yaitu pengelompokan bidang tanah sebagai petunjuk lokasi dan sarana identifikasi objek pajak. 
3. Zona Nilai Tanah (ZNT)  yaitu zona geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang mempunyai satu Nilai Indikasi Rata-rata (NIR). Zona ini digunakan untuk sarana identifikasi nilai objek pajak bumi.
    Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa data spasial berupa peta adalah komponen yang harus ada dalam Sismiop atau dengan kata lain  basis data PBB dapat dikatakan berstruktur Sismiop apabila terdapat peta. 
    Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan pelayanan Wajib Pajak melalui ketersediaan basis data objek dan subjek PBB yang memadai, maka mulai tahun 1999 dikembangkan suatu sistim yang memadukan dan menyelaraskan data alfanumeris dan data grafis objek PBB yang dikenal dengan Sistim Informasi Geografis (SIG). Sistim ini terintegrasi dengan aplikasi SISMIOP dan menekankan pada analisa spasial yang selama ini tidak tertampung dalam aplikasi SISMIOP. Secara umum aplikasi ini diharapkan akan mendukung fungsi administrasi PBB yang mencakup kegiatan pemantauan operasional, manajemen, pengambilan keputusanan dan evaluasi kerja.
   Sistem informasi geografis yang dikembangkan saat ini ditujukan untuk dapat mengakomodir data atributik dan data spasial secara terpadu sehingga updating data atributik secara otomatis dan real time juga merubah data spasial demikian pula sebaliknya. Dari sisi fungsi dan pemanfaatan SIG dikembangkan untuk kepentingan muti purpose yang memungkinkan sinergi kegunaaan yang lebih banyak baik untuk perpajakan maupun untuk digunakan bagi dukungan data untuk intitusi lain. (bersambung ....)

Rabu, 09 Januari 2013

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-(bagian Kedua)

Padjak Tanah dan Roemah 1927

    Pada kurun masa 1830 - 1870 muncul gagasan dari Johannes van den Bosch berupa suatu sistem tanam yang akan menghasilkan jumlah penerimaan keuangan yang cepat dan melimpah, sistem ini kemudian dikenal sebagai sistem tanam paksa (kultuurstelsel). Pada masa ini petani hanya diwajibkan menyerahkan 1/5 bagian dari tanah dan tenaga kerja (jauh lebih kecil daripada tarip landrente sebesar 1/2 bagian). Petani yang sudah memberikan 1/5 bagian dibebaskan dari pengenaan landrente, bahkan apabila terjadi kelebihan akan dikembalikan selisihnya. 
  Selama masa kultuurstelsel pengembangan sistem landrente diabaikan oleh pemerintah, bahkan tahun 1827 – 1863 pengukuran dan pemetaan tanah dihentikan sama sekali. Pada tahun 1872 muncul peraturan baru tentang Landrente Stbl 1872 No. 66, No. 219.a dan  No. 241 yang mulai mengenalkan adanya pembebasan dan pengurangan pajak dan menegaskan bahwa sifat landrente adalah pajak bukan sewa tanah. Besarnya pajak tanah sawah per tahun dirumuskan sebagai berikut: 

Landrente =  % x hasil bersih x harga dasar padi

    Prosentase berkisar antara 8 – 20% sesuai tingkat kemakmuran masing-masing desa, harga dasar padi adalah harga padi kering termurah selama 10 tahun terakhir.
   Peraturan landrente disempurnakan pada tahun 1907 dimana cara pengenaan per desa diganti dengan per persil landrente dan dikenakan atas hasil dengan mempertimbangkan biaya produksi. Biaya produksi diperoleh dari panen sawah percobaan yang khusus diselenggarakan untuk itu. 
   Pada tahun 1925 pengelolaan landrente dialihkan dari Departemen Dalam Negeri ke Departemen Keuangan. “Dinas Landrente” juga dialihkan ke Departemen Kehakiman. Meskipun telah terjadi pengalihan pengelolaan, tetapi tidak semua wewenang dan tanggung jawab beralih ke pejabat Departemen Keuangan, sehingga pejabat “Dinas Landrente” lebih dianggap sebagai pelaksana teknis, sedangkan wewenang politis operasional tetapi dipegang oleh Departemen Dalam Negeri. Keadaan ini berlangsung sampai dengan akhir zaman penjajahan Belanda tahun 1942, berlanjut di zaman pendudukan militer Jepang dan sampai awal zaman kemerdekaan. 
    Tahun 1927 diundangkan kembali Peraturan landrente  baru dengan Stbl. 1927/163 yang berlaku untuk seluruh Jawa/Madura (kecuali Surakarta dan Yogyakarta) serta meliputi semua jenis tanah pemajakan, termasuk empang (tambak) air laut dengan maksud meringankan beban pajak petani. Dan untuk daerah Gubernemen di luar Jawa/Madura diundangkan peraturan landrente baru dengan mengikuti ketentuan-ketentuan pengenaan landrente di Jawa/Madura, akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi spesifik daerah masing-masing. 
    Peraturan landrente berubah lagi pada tahun 1939 menjadi “Landrente Verordering 1939” yang berlaku untuk semua daerah gubernemen sebagai akibat diterapkannya sistim metrik di Hindia Belanda serta dalam rangka penyempurnaan dan penyeragaman peraturan. 

    Presiden Republik Indonesia dalam bulan September 1959 dalam rangka usaha peningkatan penerimaan Negara menebitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  (Perpu) No.11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (LN. No.104/1959) untuk mengadakan pemungutan sekedarnya dalam sektor agraris menurut suatu sistem sederhana yang mudah dimengerti oleh rakyat yaitu suatu pajak atas tanah yang dikuasai dengan hak kebendaan dan yang tidak dikenakan pajak Verponding atau Verponding Indonesia. Selain itu diterbitkan pula Perpu No. 16 dan No.24 tahun 1959, yang merubah Pasal 7 ayat 2a Ordonansi Pajak Pendapatan 1944  sehingga adanya pajak ganda atas hasil dari tanah telah dihindarkan.

    Dengan terbitnya Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang disamping mencabut “Agrarische Wet” dan “Domeinverklaring” (Agrarisch Besluit 1870) dan lain-lain, juga menghapus Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan yang dikandungnya, kecuali ketentuan-ketentuan tentang hipotik yang masih berlaku), menggoyahkan dasar-dasar pengenaan pajak-pajak Verponding dan Verponding Indonesia, yang karenanya menjadi kehilangan obyek pengenaan pajaknya. Juga pungutan Bea Balik Nama atas Harta Tetap (tanah dan bangunan) tidak dapat dipungut lagi setelah diundangkannya UUPA 1960.

    Keputusan Presidium Kabinet RI tanggal 10-4-1967 No.87/U/KEP/4/1967 menetapkan pembekukan pelaksanaan Verponding dan Verponding Indonesia seperti yang masing-masing diatur dalam Ordonansi Verponding tahun 1928 dengan tujuan menjadikan Ipeda (dalam  keputusan ini dan seterusnya Pemerintah tidak lagi menyebut nama pungutan sebagai Pajak Hasil Bumi) menjadi satu-satunya pajak atas tanah yang hak-haknya diatur dalam UUPA 1960. (Bersambung ....)

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-(bagian pertama)



   Sejarah pajak bumi di Indonesia sudah dimulai sejak masa prasejarah  dengan penguasa atau sesepuh (primus inter pares) mulai membebani rakyat dengan persembahan upeti dan iuran wajib (pajak) atas tanah sawah sebagai tanda pengakuan atas kepemimpinan dan bukti syukur atas pengayoman penguasa (R. Sa’ban : 1987).

   Berdasarkan prasasti-prasasti pada masa kerajaan Mataram Hindu telah menyebutkan tentang pungutan atas tanah yang teratur pelaksanaannya, dimana peraturan perpajakan telah berlaku umum dan diketahui secara luas. Obyek pengenaan pajak tanah meliputi tanah sawah dan darat. Ketentuan besarnya tarif  sudah ada walaupun tidak dalam persentase (%). 

   Pada masa kerajaan Mataram Islam obyek pajak berupa tanah pertanian (sawah dan tegalan), kecuali tanah jabatan (bengkok). Besarnya tarip pajak didasarkan ketentuan bagi hasil (maro, mertelu dsb) setelah dipotong bawon. Ketetapan pajak berlaku sekali untuk seterusnya sampai ada penetapan kembali bila dianggap perlu (tidak berkala). Pada masa ini telah dikenal cara pemungutan pajak berdasarkan statusatau peruntukan tanahnya. Uang pajak tida ada yang dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk apapun untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat. 

   Saat kompeni/VOC berkuasa di Indonesia dikenal istilah Verplichte Leverantien yaitu penyerahan dari seluruh panen dari suatu hasil bumi tertentu oleh rakyat dengan harga rendah. Selain itu VOC sebagai penguasa politik yang membawahi daerah–daerah takluk merasa berhak memungut sebagian hasil bumi dan tenaga kerja dari rakyat jajahannya sebagai jatah persembahan berkala (tahunan) yang disebut Contingenten. Persembahan wajib tahunan ini lazimnya berupa padi dan hasil pertanian lainnya ada juga hasil hutan dan lain-lain yang pada dasarnya tanpa suatu pembayaran harga. Keadaan ini berlanjut sampai masa awal berkuasanya Hindia Belanda.
    Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels Verplichte Leverantien maupun Contingenten tetap dipertahankan sebagai sumber penerimaan Pemerintah, dan di beberapa daerah tertentu diterapkan sistem pajak sebesar 1/5 bagian hasil panen.
    Sejak tanggal 18 September 1811 dimulailah pendudukan Inggris di Indonesia dibawah pimpinan Raffles. Pada masa pemerintahan Raffles, telah dilakukan pembaharuan sistem pungutan dari sistem contingent ke sistem landrente. Sistem ini diberlakukan di seluruh Jawa dengan cara pengenaan umumnya per desa (Village Settlement), akan tetapi ada pula dengan sistem tuan tanah (Zamindari Settlement) atau sistem perorangan (Detailed Settlement). Cara pengenaan, jangka waktu lamanya sewa tanah, tarip sewa dan harga padi yang diterapkan disesuaikan situasi dan kondisi dan kebijakan Residen yang bersangkutan. Terhadap tanah pekarangan bagi penduduk non petani dikenakan Tanement Tax
    Setelah berakhirnya perang Eropa, Belanda kembali menguasai pulau Jawa dan daerah jajahan lainnya. Untuk mengisi kas kerajaan Belanda yang kosong dilakukan usaha pengenaan pajak tanah dengan peraturan-peraturan yang sebenarnya hanya mengadopsi sistem Landrente. Pengenaan pajak dikembalikan per desa, karena dianggap data, sarana dan personalia belum tersedia. Dasar penetapan landrente tidak ada ketentuannya, sehingga dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan kesepakatan antara pejabat dengan pamong desa.
    Cara penetapan pajak ini sangat rawan penyimpangan, karena dilakukan secara tawar menawar tanpa melihat keadaan sebenarnya dilapangan. Pelaksanaannya memberatkan rakyat wajib-bayar, karena jumlahnya yang tidak pasti, ditambah lagi aturan yang selalu berubah dan tidak mantap. Oleh karena itu landrente tidak berkembang secepat yang diharapkan oleh pemerintah.(bersambung ....).