Sudah dua tahun aku menimba ilmu
di Kampus Prodip Keuangan BPLK Arjosari Malang, ketika itu usiaku baru 19 tahun.
Menginjak semester 5, aku akan mulai praktek kerja lapangan, dan pilihanku
adalah Kabupaten Jember. Selama 4
semester aku belajar Ilmu Ukur Tanah (IUT) dari mulai dasar-dasar, istilah,
alat, cara menghitung luas, koreksi dan sebagainya. Sempat praktek pengukuran
di sebuah pegunungan sekitar Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, meskipun hasil
pengukurannya masih besar toleransi kesalahannya. Alhasil aku lulus mata kuliah
IUT meski tidak dengan nilai sempurna.
Ketika mulai praktek lapangan
tahun 1994, aku ditugaskan untuk melakukan pendataan di sebuah desa di
Kecamatan Patrang Kabupaten Jember. Dengan diantar pengawas, aku dikenalkan
dengan Kepala Desa dan para punggawanya. Hari pertama aku Cuma dibekali peta
wilayah desa, nama kampung dan batas wilayah yang akan ku data. Di hari itu
pula aku mulai berkenalan dengan para Kepala Kampung di desa itu. Seorang
Kepala Kampung yang dipanggil "Pak Kampong" meminta wilayahnya diukur lebih
dahulu, karena masyarakatnya sudah menunggu sejak sebulan lalu. Karena Pak Kampong
sangat bersemangat, permintaannya aku penuhi dan hari itu juga aku diajak
mampir ke rumahnya yang agak jauh dari kantor desa.
Dengan berjalan kaki aku dan "Pak Kampong" berjalan menyusuri jalan desa yang masih berupa tanah. Sepanjang jalan banyak masyarakat yang menyapa dengan ramah sambil bertanya “siapa itu Pak Kampong ?”.
Dengan berjalan kaki aku dan "Pak Kampong" berjalan menyusuri jalan desa yang masih berupa tanah. Sepanjang jalan banyak masyarakat yang menyapa dengan ramah sambil bertanya “siapa itu Pak Kampong ?”.
Pak Kampong dengan bahasa madura
menjawab “Pak Mantri”. Jawaban "Pak Kampong" tadi ternyata cepat menyebar ke
masyarakat, bahkan seperti kecepatan kilat. Mendekati rumah pak Kampong,
ternyata sudah banyak masyarakat yang menunggu dari usia anak-anak sampe kakek
nenek sudah menyemut disekitar jalan depan rumah Pak Kampong.
Terdengar suara yang awalnya lirih lama-lama jadi keras juga .... “Pak Mantri dateng, Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng ....”. Kaget aku melihat sambutan masyarakat desa yang luar biasa ramainya. Sempet merinding dan gugup melihat suasana ketika itu .... aku kan masih baru praktek kerja, aku masih mahasiswa, aku bukan Pak mantri ..... Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan menebar senyum, meski dalam hati menyimpan kekhawatiran ....
Aku tidak menyangka, ternyata peran Pak Mantri Ukur atau Mantri Klasir sangat ditunggu dan diharapkan masyarakat. Selama ini aku masih membawa persepsiku sendiri, bahwa aku mau praktek kerja lapangan pendataan PBB, tetapi pandangan masyarakat ternyata lain. Aku dianggap Mantri Klasir yang sudah lama mereka tunggu-tunggu untuk memperbaiki tata administrasi pertanahan di desanya. Hari itu bener-bener membawa kenangan dalam hidupku, karena sepanjang jalan aku di “karak” seperti sang pejabat yang sangat ditunggu-tunggu, kami berjalan didepan bersama Pak Kampong dan masyarakat mengikuti dibelakang sambil terus mengumandangkan “Pak Mantri dateng, Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng ....” .
Meski memang udara di desa itu panas, tapi keringat yang keluar dari badanku terasa dingin, sedingin perasaan cemasku. Aku yang masih belia, aku yang masih culun, aku yang masih mahasiswa ternyata sudah “dianggap” mereka pejabat. Ketika itulah aku mulai menyadari bahwa harapan masyarakat sangat besar menginginkan perubahan terutama perubahan tata administrasi pertanahan khususnya PBB didesa tersebut.
Akupun baru menyadari bahwa petugas ukur yang oleh masyarakat desa dipanggil Mantri Klasir adalah profesi yang mulia dan bergengsi sejajar dengan para Pejabat seperti Camat atau Bupati. Akhirnya akupun harus merubah persepsiku sendiri, Aku sekarang Pejabat, Aku bukan sekedar mahasiswa praktek. Karenanya aku harus bekerja (praktek) dengan sungguh-sungguh, aku harus profesional dalam bekerja, masyarakat menunggu hasil kerjaku agar bisa membawa perubahan bagi kehidupannya. Sejak hari itulah, aku biasa dipanggil masyarakat desa itu dengan sebutan Mantri Klasir. Hampir setengah tahun aku diuji menjadi Mantri Klasir sampai seluruh wilayah desa selesai dibuatkan peta rincikan/ peta bloknya, dan semoga hasilnya memberi banyak manfaat buat masyarakat disana. Akhirnya setelah lulus kuliah pun aku menjadi terbiasa menjalani profesi Mantri Klasir ini. Dalam blog ini aku akan membagi ilmu dan pengalaman menjadi Mantri Klasir. Kalau temen-temen punya ilmu dan cerita juga boleh nambahin atau ngoreksi...
Terdengar suara yang awalnya lirih lama-lama jadi keras juga .... “Pak Mantri dateng, Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng ....”. Kaget aku melihat sambutan masyarakat desa yang luar biasa ramainya. Sempet merinding dan gugup melihat suasana ketika itu .... aku kan masih baru praktek kerja, aku masih mahasiswa, aku bukan Pak mantri ..... Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan menebar senyum, meski dalam hati menyimpan kekhawatiran ....
Aku tidak menyangka, ternyata peran Pak Mantri Ukur atau Mantri Klasir sangat ditunggu dan diharapkan masyarakat. Selama ini aku masih membawa persepsiku sendiri, bahwa aku mau praktek kerja lapangan pendataan PBB, tetapi pandangan masyarakat ternyata lain. Aku dianggap Mantri Klasir yang sudah lama mereka tunggu-tunggu untuk memperbaiki tata administrasi pertanahan di desanya. Hari itu bener-bener membawa kenangan dalam hidupku, karena sepanjang jalan aku di “karak” seperti sang pejabat yang sangat ditunggu-tunggu, kami berjalan didepan bersama Pak Kampong dan masyarakat mengikuti dibelakang sambil terus mengumandangkan “Pak Mantri dateng, Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng .... Pak Mantri dateng ....” .
Meski memang udara di desa itu panas, tapi keringat yang keluar dari badanku terasa dingin, sedingin perasaan cemasku. Aku yang masih belia, aku yang masih culun, aku yang masih mahasiswa ternyata sudah “dianggap” mereka pejabat. Ketika itulah aku mulai menyadari bahwa harapan masyarakat sangat besar menginginkan perubahan terutama perubahan tata administrasi pertanahan khususnya PBB didesa tersebut.
Akupun baru menyadari bahwa petugas ukur yang oleh masyarakat desa dipanggil Mantri Klasir adalah profesi yang mulia dan bergengsi sejajar dengan para Pejabat seperti Camat atau Bupati. Akhirnya akupun harus merubah persepsiku sendiri, Aku sekarang Pejabat, Aku bukan sekedar mahasiswa praktek. Karenanya aku harus bekerja (praktek) dengan sungguh-sungguh, aku harus profesional dalam bekerja, masyarakat menunggu hasil kerjaku agar bisa membawa perubahan bagi kehidupannya. Sejak hari itulah, aku biasa dipanggil masyarakat desa itu dengan sebutan Mantri Klasir. Hampir setengah tahun aku diuji menjadi Mantri Klasir sampai seluruh wilayah desa selesai dibuatkan peta rincikan/ peta bloknya, dan semoga hasilnya memberi banyak manfaat buat masyarakat disana. Akhirnya setelah lulus kuliah pun aku menjadi terbiasa menjalani profesi Mantri Klasir ini. Dalam blog ini aku akan membagi ilmu dan pengalaman menjadi Mantri Klasir. Kalau temen-temen punya ilmu dan cerita juga boleh nambahin atau ngoreksi...
mas, selamat datang di dunia blogging... Ditunggu karya2 selanjutnya...
BalasHapus