Pada kurun masa 1830 - 1870 muncul gagasan dari Johannes van den Bosch berupa suatu sistem tanam yang akan
menghasilkan jumlah penerimaan keuangan yang cepat dan melimpah, sistem ini
kemudian dikenal sebagai sistem tanam paksa (kultuurstelsel). Pada masa ini petani hanya diwajibkan menyerahkan
1/5 bagian dari tanah dan tenaga kerja (jauh lebih kecil daripada tarip landrente sebesar 1/2 bagian). Petani
yang sudah memberikan 1/5 bagian dibebaskan dari pengenaan landrente, bahkan apabila terjadi kelebihan akan dikembalikan
selisihnya.
Selama masa kultuurstelsel pengembangan sistem landrente diabaikan oleh pemerintah, bahkan tahun 1827 – 1863
pengukuran dan pemetaan tanah dihentikan sama sekali. Pada tahun 1872 muncul
peraturan baru tentang Landrente Stbl
1872 No. 66, No. 219.a dan No. 241 yang
mulai mengenalkan adanya pembebasan dan pengurangan pajak dan menegaskan bahwa
sifat landrente adalah pajak bukan
sewa tanah. Besarnya pajak tanah sawah per tahun dirumuskan sebagai berikut:
Landrente = % x hasil bersih x harga dasar padi
Prosentase berkisar antara 8 – 20% sesuai
tingkat kemakmuran masing-masing desa, harga dasar padi adalah harga padi
kering termurah selama 10 tahun terakhir.
Peraturan landrente disempurnakan pada tahun 1907 dimana cara pengenaan per
desa diganti dengan per persil landrente
dan dikenakan atas hasil dengan mempertimbangkan biaya produksi. Biaya produksi
diperoleh dari panen sawah percobaan yang khusus diselenggarakan untuk itu.
Pada tahun 1925 pengelolaan landrente dialihkan dari Departemen
Dalam Negeri ke Departemen Keuangan. “Dinas Landrente” juga dialihkan ke
Departemen Kehakiman. Meskipun telah terjadi pengalihan pengelolaan, tetapi
tidak semua wewenang dan tanggung jawab beralih ke pejabat Departemen Keuangan,
sehingga pejabat “Dinas Landrente” lebih dianggap sebagai pelaksana teknis,
sedangkan wewenang politis operasional tetapi dipegang oleh Departemen Dalam
Negeri. Keadaan ini berlangsung sampai dengan akhir zaman penjajahan Belanda
tahun 1942, berlanjut di zaman pendudukan militer Jepang dan sampai awal zaman
kemerdekaan.
Tahun
1927 diundangkan kembali Peraturan landrente baru dengan Stbl. 1927/163 yang berlaku untuk
seluruh Jawa/Madura (kecuali Surakarta dan Yogyakarta) serta meliputi semua
jenis tanah pemajakan, termasuk empang (tambak) air laut dengan maksud
meringankan beban pajak petani. Dan untuk daerah Gubernemen di luar Jawa/Madura
diundangkan peraturan landrente baru
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan pengenaan landrente di Jawa/Madura, akan tetapi disesuaikan dengan situasi
dan kondisi spesifik daerah masing-masing.
Peraturan
landrente berubah lagi pada tahun
1939 menjadi “Landrente Verordering 1939”
yang berlaku untuk semua daerah gubernemen sebagai akibat diterapkannya sistim
metrik di Hindia Belanda serta dalam rangka penyempurnaan dan penyeragaman
peraturan.
Presiden
Republik Indonesia dalam bulan September 1959 dalam rangka usaha peningkatan
penerimaan Negara menebitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil
Bumi (LN. No.104/1959) untuk mengadakan pemungutan sekedarnya dalam sektor
agraris menurut suatu sistem sederhana yang mudah dimengerti oleh rakyat yaitu
suatu pajak atas tanah yang dikuasai dengan hak kebendaan dan yang tidak
dikenakan pajak Verponding atau Verponding Indonesia. Selain itu diterbitkan
pula Perpu No. 16 dan No.24 tahun 1959, yang merubah Pasal 7 ayat 2a Ordonansi
Pajak Pendapatan 1944 sehingga adanya
pajak ganda atas hasil dari tanah telah dihindarkan.
Dengan
terbitnya Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang disamping mencabut
“Agrarische Wet” dan “Domeinverklaring” (Agrarisch Besluit 1870) dan lain-lain,
juga menghapus Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (sepanjang mengenai
bumi, air dan kekayaan yang dikandungnya, kecuali ketentuan-ketentuan tentang
hipotik yang masih berlaku), menggoyahkan dasar-dasar pengenaan pajak-pajak
Verponding dan Verponding Indonesia, yang karenanya menjadi kehilangan obyek
pengenaan pajaknya. Juga pungutan Bea Balik Nama atas Harta Tetap (tanah dan
bangunan) tidak dapat dipungut lagi setelah diundangkannya UUPA 1960.
Keputusan Presidium Kabinet RI tanggal
10-4-1967 No.87/U/KEP/4/1967 menetapkan pembekukan pelaksanaan Verponding dan
Verponding Indonesia seperti yang masing-masing diatur dalam Ordonansi
Verponding tahun 1928 dengan tujuan menjadikan Ipeda (dalam keputusan ini dan seterusnya Pemerintah tidak
lagi menyebut nama pungutan sebagai Pajak Hasil Bumi) menjadi satu-satunya
pajak atas tanah yang hak-haknya diatur dalam UUPA 1960. (Bersambung ....)
Min mau tanya persentase pengenaan pajak tanah persawah yg 8-20% itu kata mimin berdasarkan tingkat kemakmuran daerahnya, apakah jika semakin makmur maka persentasinya akan naik atau malah akan turun?
BalasHapusDan berapa harga padi terendah pada masa 10 tahun terakhir yg mimin maksud ?
Makasih atas persinggahannya mas Willyandi Santoso ....
HapusYang dikupas diatas adalah sejarah PBB mas ... 8 - 20 % adalah ketika jaman Landrente ... semakin makmur semakin mahal atau besar persentasenya ....
Harga padi terendah pada 10 tahun terakhir dimaksud adalah pada masa akan menetapkan pajak landrente tadi ... kalo sekarang ... hal ini sudah tidak dipake lagi ...
Jadi nggak ada yg surve harga padi utk penilaian tanah sekarang ....