Sejarah pajak bumi di Indonesia sudah dimulai
sejak masa prasejarah dengan penguasa
atau sesepuh (primus inter
pares) mulai membebani rakyat
dengan persembahan upeti dan iuran wajib (pajak) atas tanah sawah sebagai tanda
pengakuan atas kepemimpinan dan bukti syukur atas pengayoman penguasa (R.
Sa’ban : 1987).
Berdasarkan
prasasti-prasasti pada masa kerajaan Mataram Hindu telah menyebutkan tentang
pungutan atas tanah yang teratur pelaksanaannya, dimana peraturan perpajakan
telah berlaku umum dan diketahui secara luas. Obyek pengenaan pajak tanah
meliputi tanah sawah dan darat. Ketentuan besarnya tarif sudah ada walaupun tidak dalam persentase
(%).
Pada
masa kerajaan Mataram Islam obyek pajak berupa tanah pertanian (sawah dan
tegalan), kecuali tanah jabatan (bengkok). Besarnya tarip pajak didasarkan
ketentuan bagi hasil (maro, mertelu dsb) setelah dipotong bawon. Ketetapan
pajak berlaku sekali untuk seterusnya sampai ada penetapan kembali bila
dianggap perlu (tidak berkala). Pada masa ini telah dikenal cara pemungutan
pajak berdasarkan statusatau peruntukan tanahnya. Uang pajak tida ada yang
dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk apapun untuk meningkatkan kesejahtraan
masyarakat.
Saat
kompeni/VOC berkuasa di Indonesia dikenal istilah Verplichte Leverantien yaitu penyerahan dari seluruh panen dari
suatu hasil bumi tertentu oleh rakyat dengan harga rendah. Selain itu VOC
sebagai penguasa politik yang membawahi daerah–daerah takluk merasa berhak
memungut sebagian hasil bumi dan tenaga kerja dari rakyat jajahannya sebagai
jatah persembahan berkala (tahunan) yang disebut Contingenten. Persembahan wajib tahunan ini lazimnya berupa padi
dan hasil pertanian lainnya ada juga hasil hutan dan lain-lain yang pada
dasarnya tanpa suatu pembayaran harga. Keadaan ini berlanjut sampai masa awal
berkuasanya Hindia Belanda.
Pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal H.W. Daendels Verplichte
Leverantien maupun Contingenten
tetap dipertahankan sebagai sumber penerimaan Pemerintah, dan di beberapa
daerah tertentu diterapkan sistem pajak sebesar 1/5 bagian hasil panen.
Sejak tanggal 18 September 1811
dimulailah pendudukan Inggris di Indonesia dibawah pimpinan Raffles. Pada masa
pemerintahan Raffles, telah dilakukan pembaharuan sistem pungutan dari sistem contingent ke sistem landrente. Sistem ini diberlakukan di
seluruh Jawa dengan cara pengenaan umumnya per desa (Village Settlement), akan
tetapi ada pula dengan sistem tuan tanah (Zamindari
Settlement) atau sistem perorangan (Detailed
Settlement). Cara pengenaan, jangka waktu lamanya sewa tanah, tarip sewa
dan harga padi yang diterapkan disesuaikan situasi dan kondisi dan kebijakan
Residen yang bersangkutan. Terhadap tanah pekarangan bagi penduduk non petani
dikenakan Tanement Tax.
Setelah berakhirnya perang Eropa,
Belanda kembali menguasai pulau Jawa dan daerah jajahan lainnya. Untuk mengisi
kas kerajaan Belanda yang kosong dilakukan usaha pengenaan pajak tanah dengan
peraturan-peraturan yang sebenarnya hanya mengadopsi sistem Landrente. Pengenaan pajak dikembalikan
per desa, karena dianggap data, sarana dan personalia belum tersedia. Dasar
penetapan landrente tidak ada
ketentuannya, sehingga dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan kesepakatan
antara pejabat dengan pamong desa.
Cara penetapan pajak ini sangat rawan penyimpangan, karena dilakukan secara tawar menawar tanpa melihat keadaan sebenarnya dilapangan. Pelaksanaannya memberatkan rakyat wajib-bayar, karena jumlahnya yang tidak pasti, ditambah lagi aturan yang selalu berubah dan tidak mantap. Oleh karena itu landrente tidak berkembang secepat yang diharapkan oleh pemerintah.(bersambung ....).
Cara penetapan pajak ini sangat rawan penyimpangan, karena dilakukan secara tawar menawar tanpa melihat keadaan sebenarnya dilapangan. Pelaksanaannya memberatkan rakyat wajib-bayar, karena jumlahnya yang tidak pasti, ditambah lagi aturan yang selalu berubah dan tidak mantap. Oleh karena itu landrente tidak berkembang secepat yang diharapkan oleh pemerintah.(bersambung ....).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar